Minggu, 20 Januari 2013

NASKAH FILM BAGINDO


BAGINDO



Ketika perang saudara mulai pecah antara kaum adat dan kaum agama diminangkabau, Bagindo yang merupakan keluarga kerajaan pagaruyuang mencoba mengadakan perundingan diistana, supaya perang bisa dihentikan. Namun usahanya gagal dan berakibat fatal istana pagaruyuang dibakar oleh kaum agama (paderi) banyak kaum adat yang terbunuh termasuk kerabat istana,  setelah peristiwa itu beberapa orang penghulu dari kaum adat minta bantuan Belanda untuk menumpas kaum Paderi dan memberikan kekuasaan kerajaan pada belanda. Bagindo sangat kecewa dan tidak bisa lagi berbuat apaapa lalu memutuskan untuk mengasingkan diri kesungai talang yang tidak terlibat perang. Disungai talang bagindo hidup damai dengan istri dan tiga orang anaknya.

Didaerah pelariannya Bagindo hidup bahagia dengan istri dan tiga orang anaknya.

Pertentangan antara kaum adat dan kaum Padri mengakibatkan terbakarnya istana Pagaruyung dan penyerahan kekuasaan pada Belanda oleh kaum adat. Dalam perkembangannya banyak dari kedua-belah pihak yang pindah kedaerah yang tidak tersentuh oleh konflik segi tiga tersebut. Bagaimanapun juga pertikaian dan pengkhianatan hanya akan menguntungkan penjajah,setidaknya itu pikiran Bagindo (keluarga istana) yang mencoba hidup dipelarian sungaitalang. Ketenangan itu tidak lama,pengkhianatan akhirnya mengantar Belanda Sungaitalang yang mengakibatkan penodaan dan kamatian istri serta penawanan anaknya. Bagindo akhirnya melanggar sumpah tidak akan berperang. Mengangkat pedang yang telah dikubur melewati urang awak, menunggang kuda untuk membela tanah dan menyelamatkan keluarga dari Belanda


 




BAGINDO



“PERANG HARUS DICEGAH DAN DIHINDARI
TETAPI MEMBUNUH KADANG MERUPAKAN KEHARUSAN”


1.      Tokoh utama. Bagindo
  1. Bagindo menginginkan kedamaian di Minangkabau, dan terutama kedamaian  keluarganya.
  2. Namun keinginannya dihalangi keserakahan dan pemaksaan kehendak dari kaum adat, kaum agama (paderi), dan Belanda yang bergolak dalam perang saudara yang dikenal dengan perang paderi. dan Menan yang merampas kebahagiaan keluarganya.
  3. Bagindo memilih melarikan diri untuk menghidari perang saudara. Tapi Bagindo tidak bisa menerima ketika istrinya dibunuh Menan dan anaknya ditahan Belanda.
  4. Bagindo terpaksa membunuh banyak orang dan Menan yang dianggapnya bertanggungjawab atas kematian istrinya serta Belanda yang menangkap anaknya.
  5. Bagindo berhasil membalaskan dendamnya namun Bagindo harus menerima kenyataan kematian anaknya.
  6. Dalam membebaskan anaknya dari tahanan Belanda, Bagindo tidak mau bergabung dengan para pejuang. Dan setelah anakya mati Bagindopun memutuskan untuk tidak ikut berperang melawan Belanda dan lebih memilih pindah ke Padang untuk membesarkan tiga orang anaknya dan memulai kehidupan yang baru.

NASKAH BAGINDO
MEMILIKI POLA STRUKTUR TIGA BABAK.

BABAK PERTAMA.
Diawali dengan masa-masa indah Bagindo dan keluarganya di Sungai Talang. Bagindo mempunyai usaha Kincir air penumbuk padi. Masyarakat hidup damai dan saling pengertian, demikian juga dengan Penghulu dan Ulama tidak ada pertentangan. Aturan berjalan sebagai mana mestinya. Anak-anak Bagindo belajar “mengaji” dan “silat”. Bagindo terlihat sabar dan banyak mengalah. Masalah mulai muncul ketika Menan kalah berjudi menyabung ayam, Menan lalu bikin keributan, Penghulu menghukum Menan karena melukai orang. Kemudian Menan dan anak buahnya merampok rumah Bagindo yang kebetulan ditinggal Bagindo pergi berjualan ke Padang.
Babak ini diakhiri dengan hukuman gantung dilaksanakan Pengulu pada dua orang pembunuh Janah istri Bagindo..

BABAK KEDUA
Diawali dengan Bagindo yang tidak bisa melupakan istrinya walau telah setahun berlalu. Bagindo membesarkan empat orang anaknya sendirian dan menolak semua tawaran untuk beristri lagi. Nidan merupakan seorang janda yang tergila-gila pada Bagindo.  Sementara Munah anaknya yang nomor tiga masih dihantui ketakutan karena pembunuh ibunya yang sesungguhnya masih hidup dan akhirnya Munah jatuh sakit setelah melihat Bagindo dipukuli Menan dan anak buahnya. Bagindo membawa Munah yang sakit kerumah Muncak (orang tua angkatnya). Marni membantu merawat anak-anak Bagindo. Keadaan kian memanas dan  Perang mulai berkecamuk  disungai talang. Masyarakat semakin bersemangat latihan silat untuk ikut berperang. Tapi ada juga yang melarikan diri kehutan  dan ada yang memilih jadi pengkhianat. Bagindo tidak mau berperang dan meninggalkan Sungai Talang untuk mengobati Munah yang sakit,
Babak ini diakhiri dengan terungkapnya siapa dan apa latarbelakang Bagindo dan siapa pembunuh Janah yang sesungguhnya.



BABAK KETIGA.
Diawali dengan Bagindo kembali ke Sungai Talang sendirian untuk membunuh Menan yang telah membunuh Janah, lalu membebaskan anaknya (Udin) dari tahanan Belanda.  Bagindo berhasil mebunuh Menan dan beberapa orang pengkhianat. Dengan berpura-pura menjadi Utusan Tanbijuak (mata-mata Belanda)  Bagindo berhasil mengecoh Belanda dan Udin dapat dibebaskan, tapi taktiknya ini diketahui Belanda sehingga perkelahian tidak bisa dihindari. Udin dan Bagindo kena tembak, Bagindo masih tanpa bantuan kelompok pejuang.

PROJECT DESCRIPTION.

Ketika perang saudara (Paderi) di Minangkabau antara kaum adat dengan kaum agama tidak bisa dicegah, lalu diperparah dengan melibatkan Belanda sebagai kaum penjajah, Bagindo memilih mengasingkan diri kedaerah yang aman (Sungai Talang), Bagindo memulai hidup baru dan keluarga. Kedamaian hidup yang ia dapatkan tidak berlangsung lama karena ada orang yang iri dan setelah perang Pederi selesai Belanda-pun ingin menjajah Sungai Talang. Istrinya lalu dibunuh orang yang ingin menguasai hartanya, dan anaknya ditahan Belanda sebagai jaminan untuk menangkap pimpinan pejuang. Bagindo yang semula anti terhadap perperangan dan pembunuhan akhirnya terpaksa membunuh siapa saja demi istri dan anaknya..


BACKGROUND STORY AND VISUALIZATION

Cerita (film) BAGINDO merupakan cerita fiksi sejarah yang mengambil seting cerita perang Pederi di Minangkabau. Perang saudara antara kaum adat dengan kaum agama ini merupakan fakta sejarah yang berlangsung pada awal abad ke-sembilan belas. Tepatnya pada tahun 1818, Istana Raja Pagaruyung dibakar oleh kaum agama dan banyak keluarga raja dan kaum adat yang dibunuh dan kerajaan Pagaruyung-pun dikuasai oleh kaum agama. Karena kalah, kaum adat minta batuan Belanda. Belanda bersedia membantu, tentunya dengan berbagai persyaratan yang salahnya adalah; Belanda akan diberi kekuasaan mutlak atas kerajaan Pagaruyuang, kaum agama dapat dilumpuhkan. Akhirnya kaum agama kalah setelah tertangkapnya Tuanku Iman Bonjol  oleh Belanda pada tahun 1837.
            Berpijak pada fakta sejarah perang ini, tentunya dalam fikiran kita akan terbayang tiga kelompok besar yaitu: kelompok kaum agama, kelompok kaum adat dan kelompok belanda sebagai kaum penjajah. Tentunya ketiga kelompok ini punya kepentingan dan tujuan masing-masing yang ingin mereka raih. Kaum agama dengan paham Wahabi-nya ingin menegakan syariat islam yang murni dengan cara apapun termasuk cara kekerasan. Sementara kaum adat sudah terlena dengan kekuasaan dan harta warisannya dan sibuk dengan kehidupan duniawi seperti main judi, menyabung ayam, berzina, mabuk-mabukan dan tidak peduli lagi dengan urusan agama. Pertentangan kedua kelompok ini tidak bisa diselesaikan kerena mereka melihat persoalan pada sisi dan tujuan yang berbeda. Sedangkan Belanda sebagai kaum penjajah melihat pertentangan kaum adat dengan kaum agama ini sebagai modal dan kesempatam besar untuk memperluas daerah jajahannya di Minagkabau
Dengan memahami latar belakang serta akibat perang Paderi ini  Saya sengaja tidak mengangkat mentah-mentah fakta perang ini untuk ide cerita sebuah film, misalnya menceritakannya dengan pandangan tokoh yang benar-benar terlibat perang ini seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh atau Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagar atau tokoh yang lainnya. Tetapi saya mencoba melihat perang ini dari sisi lain dengan cara menghadirkan tokoh fiktif ( BAGINDO) yang tidak ada dalam catatan sejarah perang Paderi. Keberadaan tokoh seperti Bagindo mungkin saja ada pada saat perang ini berlangsung namun kurang menonjol atau terlupakan.
Dalam beberapa buku yang saya baca tentang perang Paderi, ketika perang saudara ini berlangsung terutama sebelum Belanda “Dilibatkan”. Orang Minangkabau waktu itu hanya terbagi dua, kalau tidak kaum agama pasti kaum adapt. Banyak orang memilih atau masuk kelompok tertentu hanya demi keselamatan mereka. Kaum agama dan kaum adat secara penampilan fisik hanya dibedakan oleh pakaian yang ia pakai. Kalau kaum agama pakainya putih-putih dan selalu membawa tasbih. Sedangkan kaum adat pasti pakainya hitam-hitam. Pakaian menjadi penanda masing-masing kelompok, mereka akan saling serang dan saling bunuh jika berbeda pakaian, tidak peduli apakah itu anak, kemenakan, bapak, paman atau sanak famili. Dalam situasi seperti ini sesungguhnya menurut saya pasti masih ada orang atau tokoh netral(dari kaum agama ataupun adat) yang masih bisa berfikir cerdas dan waras dan melihat perang bukanlah sulusi dari suatu persoalan. Dan orang itu prihatin melihat keadaan masyakat Minangkabau saat itu. Pasti mereka akan memikirkan cara-cara damai melalui pertemuan untuk mengakhiri perang saudara ini. Misalnya pertemuan di Istana Pagaruyung antara kaum adat dan kaum agama. Walau gagal dalam mencari solusi damai dan berakibat fatal, Namun dalam fikiran kita akan menjadi catatan penting bahwa saat itu ada beberapa orang yang berperan penting dalam mengupayakan pertemuan tersebut. Tapi luput dalam catatan sejarah siapa orangnya? dan apa yang ia lakukan setelah pertemuan itu gagal? Pada celah inilah saya mencoba memunculkan tokoh BAGINDO yaitu, seorang tokoh netral dari keluarga istana,  yang sangat membenci perperangan dan pembunuhan. Tapi karena upayanya gagal, ia menjadi orang yang disalah dan dikucilkan. bahkan ada kaum adat yang menuduhnya pengkhianat.
Pada tahun 1821 Kaum adat melalui beberapa orang penghulu minta bantuan kepada Belanda di Padang untuk menumpas kaum agama dan sebagai imbalan bantuannya para penghulu tersebut menyerahkan kekuasaan kerajaan Pagaruyuang pada Belanda. Hal inilah yang menjadi puncak kekecewaan Bagindo pada kaum adat dan penghulu yang seharusnya bertanggungjawab atas segala masalah dan penyelesaianya diMinangkabau. tapi malah menyerahkan kekusaan dan penyelesaian masalah Minangkabau pada Belanda.
Pada puncak kekecewaanya ini, Bagindo tidak bisa lagi berbuat banyak, dan menurutnya kerajaan Minangkabau telah berakhir. Tidak ada lagi kelompok yang pantas dan mau diajak bicara. Untuk melibatkan diri dalam perperangan ini merupakan satu yang tidak mungkin karena ikut kaum manapun pasti akan membunuh orang Minang yang merupakan kaumnya juga. Bagindo memilih menghindar dari perang saudara ini. Bagindo pergi kedaerah selatan yang selama ini aman dan tidak terlibat perang paderi yaitu Sungai Talang.
Di sungai Talang, Bagindo memulai kehidupanya yang baru dan melupakan serta menyembunyikan masalalunya sebagai keturunan raja yang gagal mencegah perang saudara. Bagindo memilih jadi orang biasa, mempunyai seorang istri dan empat orang anak.. Bagi Bagindo tujuan hidupnya tinggal satu yaitu, membahagiakan anak dan istrinya.
Dimanapun tempat dimuka bumi ini, tiada yang aman dan bebas dari masalah, demikian juga di Sungai Talang. Kebahagian yang selama ini akhirnya terengut juga oleh keiri-an dan keserakahan orang lain. Bagindo harus menerima kenyataan pahit istrinya dibunuh oleh orang sungai talang sendiri. Bagindo harus bertahan dan tabah menjalani hidup membesarkan dan mendidik anak-anaknya tanpa didampingi seorang istri.
Setelah perang Paderi berakhir, Belanda malah ingin menjajah seluruh wilayah Minangkabau termasuk Sungai Talang.
Dalam menulis cerita yang bersumber pada fakta sejarah, tentu mengalami banyak kandala dan tingkat keulitan yang cukup tinggi.apalagi mengambil seting cerita perang dan pasca perang paderi tahun 1844. selain harus membaca banyak referensi buku sejarah, tentunya penulis harus dan telah melakuan oservasi lapangan dan mengumpulkan berbagai macam  data.. Dan mecari beberapa tempat yang memungkinkan naskah ini akan difilmkan nantinya.
Pendekatan dan sudut pandang yang dipakai kertika menulis naskah ini yaitu sosiologi budaya dan psikologi tokoh yang pernah mengalami berbagai masa-mas yang sangat sulit. Dari sosiologi budaya, penulis mencoba mengambarkan kehidupan masyarat Minang kabau disungai talang tahun 1844, mulai dari cara berpakain, kesawah, menumbuk padi, penghasilannya, adat istiadat, tradisi, kesenian, keagamaan, bentuk bagunan, peralatan yang dipakai, pendidikan,


PROJECT DESCRIPTION

Naskah BAGINDO berseting budaya Minangkabau sekitar tahun 1844 pasca perang Paderi. Produksi film ini akan mangambil lokasi dibeberapa tempat didaerah Sumatera Barat (Minangkabau). Seting bangunan akan dirancang dan dibangun ulang sesuai dengan kebutuhan, dan sebagian lagi akan memakai bagunan lama syang telah ada. Kostum dan properti harus dirancang dan dibuat ulang berdasarkan tuntutan naskah. Pemain yang akan memerankan tokoh-tokoh yang ada dalam naskah, akan diperankan  pemain baru yang belum terkenal. Tim produksi (kru) yang terlibat dalam produksi Film ini akan mengandalkan tenaga yang ada disumatera barat ditambah dengan konsultan ahli. Sedangkan biaya produksi untuk Film ini sama sekali belum ada.

 Publish By : Tua Tua Cinema Bukittinggi
Email : tuatua_cinema@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar