BAGINDO
Ketika perang saudara mulai pecah antara kaum adat dan
kaum agama diminangkabau, Bagindo yang merupakan keluarga kerajaan pagaruyuang
mencoba mengadakan perundingan diistana, supaya perang bisa dihentikan. Namun
usahanya gagal dan berakibat fatal istana pagaruyuang dibakar oleh kaum agama
(paderi) banyak kaum adat yang terbunuh termasuk kerabat istana, setelah peristiwa itu beberapa orang penghulu
dari kaum adat minta bantuan Belanda untuk menumpas kaum Paderi dan memberikan
kekuasaan kerajaan pada belanda. Bagindo sangat kecewa dan tidak bisa lagi
berbuat apaapa lalu memutuskan untuk mengasingkan diri kesungai talang yang
tidak terlibat perang. Disungai talang bagindo hidup damai dengan istri dan
tiga orang anaknya.
Didaerah pelariannya Bagindo hidup bahagia dengan istri dan tiga orang
anaknya.
Pertentangan antara kaum adat dan kaum Padri mengakibatkan terbakarnya
istana Pagaruyung dan penyerahan kekuasaan pada Belanda oleh kaum adat. Dalam
perkembangannya banyak dari kedua-belah pihak yang pindah kedaerah yang tidak
tersentuh oleh konflik segi tiga tersebut. Bagaimanapun juga pertikaian dan
pengkhianatan hanya akan menguntungkan penjajah,setidaknya itu pikiran Bagindo (keluarga
istana) yang mencoba hidup dipelarian sungaitalang.
Ketenangan itu tidak lama,pengkhianatan akhirnya mengantar Belanda Sungaitalang yang mengakibatkan penodaan
dan kamatian istri serta penawanan anaknya. Bagindo akhirnya melanggar sumpah
tidak akan berperang. Mengangkat pedang yang telah dikubur melewati urang awak, menunggang kuda untuk
membela tanah dan menyelamatkan
keluarga dari Belanda
BAGINDO
“PERANG HARUS DICEGAH
DAN DIHINDARI
TETAPI MEMBUNUH KADANG
MERUPAKAN KEHARUSAN”
1.
Tokoh utama. Bagindo
- Bagindo menginginkan kedamaian di Minangkabau, dan terutama kedamaian keluarganya.
- Namun keinginannya dihalangi keserakahan dan pemaksaan kehendak dari kaum adat, kaum agama (paderi), dan Belanda yang bergolak dalam perang saudara yang dikenal dengan perang paderi. dan Menan yang merampas kebahagiaan keluarganya.
- Bagindo memilih melarikan diri untuk menghidari perang saudara. Tapi Bagindo tidak bisa menerima ketika istrinya dibunuh Menan dan anaknya ditahan Belanda.
- Bagindo terpaksa membunuh banyak orang dan Menan yang dianggapnya bertanggungjawab atas kematian istrinya serta Belanda yang menangkap anaknya.
- Bagindo berhasil membalaskan dendamnya namun Bagindo harus menerima kenyataan kematian anaknya.
- Dalam membebaskan anaknya dari tahanan Belanda, Bagindo tidak mau bergabung dengan para pejuang. Dan setelah anakya mati Bagindopun memutuskan untuk tidak ikut berperang melawan Belanda dan lebih memilih pindah ke Padang untuk membesarkan tiga orang anaknya dan memulai kehidupan yang baru.
NASKAH BAGINDO
MEMILIKI POLA STRUKTUR
TIGA BABAK.
BABAK PERTAMA.
Diawali dengan masa-masa indah Bagindo dan keluarganya di Sungai Talang. Bagindo
mempunyai usaha Kincir air penumbuk padi. Masyarakat hidup damai dan saling
pengertian, demikian juga dengan Penghulu dan Ulama tidak ada pertentangan.
Aturan berjalan sebagai mana mestinya. Anak-anak Bagindo belajar “mengaji” dan
“silat”. Bagindo terlihat sabar dan banyak mengalah. Masalah mulai muncul
ketika Menan kalah berjudi menyabung ayam, Menan lalu bikin keributan, Penghulu
menghukum Menan karena melukai orang. Kemudian Menan dan anak buahnya merampok
rumah Bagindo yang kebetulan ditinggal Bagindo pergi berjualan ke Padang.
Babak ini diakhiri dengan hukuman gantung dilaksanakan Pengulu pada dua
orang pembunuh Janah istri Bagindo..
BABAK KEDUA
Diawali dengan Bagindo yang tidak bisa melupakan istrinya walau telah
setahun berlalu. Bagindo membesarkan empat orang anaknya sendirian dan menolak
semua tawaran untuk beristri lagi. Nidan merupakan seorang janda yang
tergila-gila pada Bagindo. Sementara
Munah anaknya yang nomor tiga masih dihantui ketakutan karena pembunuh ibunya
yang sesungguhnya masih hidup dan akhirnya Munah jatuh sakit setelah melihat
Bagindo dipukuli Menan dan anak buahnya. Bagindo membawa Munah yang sakit
kerumah Muncak (orang tua angkatnya). Marni membantu merawat anak-anak Bagindo.
Keadaan kian memanas dan Perang mulai
berkecamuk disungai talang. Masyarakat
semakin bersemangat latihan silat untuk ikut berperang. Tapi ada juga yang
melarikan diri kehutan dan ada yang
memilih jadi pengkhianat. Bagindo tidak mau berperang dan meninggalkan Sungai
Talang untuk mengobati Munah yang sakit,
Babak ini diakhiri dengan terungkapnya siapa dan apa latarbelakang Bagindo
dan siapa pembunuh Janah yang sesungguhnya.
BABAK KETIGA.
Diawali dengan Bagindo kembali ke Sungai Talang sendirian untuk membunuh Menan
yang telah membunuh Janah, lalu membebaskan anaknya (Udin) dari tahanan Belanda.
Bagindo berhasil mebunuh Menan dan
beberapa orang pengkhianat. Dengan berpura-pura menjadi Utusan Tanbijuak
(mata-mata Belanda) Bagindo berhasil
mengecoh Belanda dan Udin dapat dibebaskan, tapi taktiknya ini diketahui
Belanda sehingga perkelahian tidak bisa dihindari. Udin dan Bagindo kena
tembak, Bagindo masih tanpa bantuan kelompok pejuang.
PROJECT DESCRIPTION.
Ketika perang saudara (Paderi) di Minangkabau antara
kaum adat dengan kaum agama tidak bisa dicegah, lalu diperparah dengan
melibatkan Belanda sebagai kaum penjajah, Bagindo memilih mengasingkan diri
kedaerah yang aman (Sungai Talang), Bagindo memulai hidup baru dan keluarga. Kedamaian
hidup yang ia dapatkan tidak berlangsung lama karena ada orang yang iri dan setelah
perang Pederi selesai Belanda-pun ingin menjajah Sungai Talang. Istrinya lalu
dibunuh orang yang ingin menguasai hartanya, dan anaknya ditahan Belanda
sebagai jaminan untuk menangkap pimpinan pejuang. Bagindo yang semula anti
terhadap perperangan dan pembunuhan akhirnya terpaksa membunuh siapa saja demi
istri dan anaknya..
BACKGROUND STORY AND VISUALIZATION
Cerita (film) BAGINDO merupakan cerita fiksi sejarah yang
mengambil seting cerita perang Pederi di Minangkabau. Perang saudara antara
kaum adat dengan kaum agama ini merupakan fakta sejarah yang berlangsung pada
awal abad ke-sembilan belas. Tepatnya pada tahun 1818, Istana Raja Pagaruyung
dibakar oleh kaum agama dan banyak keluarga raja dan kaum adat yang dibunuh dan
kerajaan Pagaruyung-pun dikuasai oleh kaum agama. Karena kalah, kaum adat minta
batuan Belanda. Belanda bersedia membantu, tentunya dengan berbagai persyaratan
yang salahnya adalah; Belanda akan diberi kekuasaan mutlak atas kerajaan
Pagaruyuang, kaum agama dapat dilumpuhkan. Akhirnya kaum agama kalah setelah tertangkapnya
Tuanku Iman Bonjol oleh Belanda pada tahun
1837.
Berpijak pada fakta sejarah perang
ini, tentunya dalam fikiran kita akan terbayang tiga kelompok besar yaitu:
kelompok kaum agama, kelompok kaum adat dan kelompok belanda sebagai kaum
penjajah. Tentunya ketiga kelompok ini punya kepentingan dan tujuan
masing-masing yang ingin mereka raih. Kaum agama dengan paham Wahabi-nya ingin menegakan syariat islam
yang murni dengan cara apapun termasuk cara kekerasan. Sementara kaum adat
sudah terlena dengan kekuasaan dan harta warisannya dan sibuk dengan kehidupan
duniawi seperti main judi, menyabung ayam, berzina, mabuk-mabukan dan tidak
peduli lagi dengan urusan agama. Pertentangan kedua kelompok ini tidak bisa
diselesaikan kerena mereka melihat persoalan pada sisi dan tujuan yang berbeda.
Sedangkan Belanda sebagai kaum penjajah melihat pertentangan kaum adat dengan
kaum agama ini sebagai modal dan kesempatam besar untuk memperluas daerah
jajahannya di Minagkabau
Dengan memahami latar belakang serta akibat perang Paderi ini Saya sengaja tidak mengangkat mentah-mentah
fakta perang ini untuk ide cerita sebuah film, misalnya menceritakannya dengan
pandangan tokoh yang benar-benar terlibat perang ini seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh atau Yang
Dipertuan Sutan Alam Bagagar atau
tokoh yang lainnya. Tetapi saya mencoba melihat perang ini dari sisi lain dengan
cara menghadirkan tokoh fiktif ( BAGINDO) yang tidak ada dalam catatan sejarah
perang Paderi. Keberadaan tokoh seperti Bagindo mungkin saja ada pada saat
perang ini berlangsung namun kurang menonjol atau terlupakan.
Dalam beberapa buku yang saya baca tentang perang Paderi, ketika perang
saudara ini berlangsung terutama sebelum Belanda “Dilibatkan”. Orang
Minangkabau waktu itu hanya terbagi dua, kalau tidak kaum agama pasti kaum adapt.
Banyak orang memilih atau masuk kelompok tertentu hanya demi keselamatan mereka.
Kaum agama dan kaum adat secara penampilan fisik hanya dibedakan oleh pakaian
yang ia pakai. Kalau kaum agama pakainya putih-putih dan selalu membawa tasbih.
Sedangkan kaum adat pasti pakainya hitam-hitam. Pakaian menjadi penanda
masing-masing kelompok, mereka akan saling serang dan saling bunuh jika berbeda
pakaian, tidak peduli apakah itu anak, kemenakan, bapak, paman atau sanak
famili. Dalam situasi seperti ini sesungguhnya menurut saya pasti masih ada
orang atau tokoh netral(dari kaum agama ataupun adat) yang masih bisa berfikir
cerdas dan waras dan melihat perang bukanlah sulusi dari suatu persoalan. Dan
orang itu prihatin melihat keadaan masyakat Minangkabau saat itu. Pasti mereka
akan memikirkan cara-cara damai melalui pertemuan untuk mengakhiri perang
saudara ini. Misalnya pertemuan di Istana Pagaruyung antara kaum adat dan kaum
agama. Walau gagal dalam mencari solusi damai dan berakibat fatal, Namun dalam
fikiran kita akan menjadi catatan penting bahwa saat itu ada beberapa orang
yang berperan penting dalam mengupayakan pertemuan tersebut. Tapi luput dalam
catatan sejarah siapa orangnya? dan apa yang ia lakukan setelah pertemuan itu
gagal? Pada celah inilah saya mencoba memunculkan tokoh BAGINDO yaitu, seorang
tokoh netral dari keluarga istana, yang
sangat membenci perperangan dan pembunuhan. Tapi karena upayanya gagal, ia
menjadi orang yang disalah dan dikucilkan. bahkan ada kaum adat yang menuduhnya
pengkhianat.
Pada tahun 1821 Kaum adat melalui beberapa orang penghulu minta bantuan
kepada Belanda di Padang
untuk menumpas kaum agama dan sebagai imbalan bantuannya para penghulu tersebut
menyerahkan kekuasaan kerajaan Pagaruyuang pada Belanda. Hal inilah yang
menjadi puncak kekecewaan Bagindo pada kaum adat dan penghulu yang seharusnya
bertanggungjawab atas segala masalah dan penyelesaianya diMinangkabau. tapi
malah menyerahkan kekusaan dan penyelesaian masalah Minangkabau pada Belanda.
Pada puncak kekecewaanya ini, Bagindo tidak bisa lagi berbuat banyak, dan
menurutnya kerajaan Minangkabau telah berakhir. Tidak ada lagi kelompok yang
pantas dan mau diajak bicara. Untuk melibatkan diri dalam perperangan ini
merupakan satu yang tidak mungkin karena ikut kaum manapun pasti akan membunuh
orang Minang yang merupakan kaumnya juga. Bagindo memilih menghindar dari
perang saudara ini. Bagindo pergi kedaerah selatan yang selama ini aman dan
tidak terlibat perang paderi yaitu Sungai Talang.
Di sungai Talang, Bagindo memulai kehidupanya yang baru dan melupakan serta
menyembunyikan masalalunya sebagai keturunan raja yang gagal mencegah perang
saudara. Bagindo memilih jadi orang biasa, mempunyai seorang istri dan empat
orang anak.. Bagi Bagindo tujuan hidupnya tinggal satu yaitu, membahagiakan
anak dan istrinya.
Dimanapun tempat dimuka bumi ini, tiada yang aman dan bebas dari masalah,
demikian juga di Sungai Talang. Kebahagian yang selama ini akhirnya terengut
juga oleh keiri-an dan keserakahan orang lain. Bagindo harus menerima kenyataan
pahit istrinya dibunuh oleh orang sungai talang sendiri. Bagindo harus bertahan
dan tabah menjalani hidup membesarkan dan mendidik anak-anaknya tanpa
didampingi seorang istri.
Setelah perang Paderi berakhir, Belanda malah ingin menjajah seluruh
wilayah Minangkabau termasuk Sungai Talang.
Dalam menulis cerita yang bersumber pada fakta sejarah, tentu mengalami banyak
kandala dan tingkat keulitan yang cukup tinggi.apalagi mengambil seting cerita
perang dan pasca perang paderi tahun 1844. selain harus membaca banyak
referensi buku sejarah, tentunya penulis harus dan telah melakuan oservasi
lapangan dan mengumpulkan berbagai macam
data.. Dan mecari beberapa tempat yang memungkinkan naskah ini akan
difilmkan nantinya.
Pendekatan dan sudut pandang yang dipakai kertika menulis naskah ini
yaitu sosiologi budaya dan psikologi tokoh yang pernah mengalami berbagai
masa-mas yang sangat sulit. Dari sosiologi budaya, penulis mencoba mengambarkan
kehidupan masyarat Minang kabau disungai talang tahun 1844, mulai dari cara
berpakain, kesawah, menumbuk padi, penghasilannya, adat istiadat, tradisi,
kesenian, keagamaan, bentuk bagunan, peralatan yang dipakai, pendidikan,
PROJECT DESCRIPTION
Naskah BAGINDO
berseting budaya Minangkabau sekitar tahun 1844 pasca perang Paderi. Produksi
film ini akan mangambil lokasi dibeberapa tempat didaerah Sumatera Barat
(Minangkabau). Seting bangunan akan dirancang dan dibangun ulang sesuai dengan
kebutuhan, dan sebagian lagi akan memakai bagunan lama syang telah ada. Kostum
dan properti harus dirancang dan dibuat ulang berdasarkan tuntutan naskah. Pemain
yang akan memerankan tokoh-tokoh yang ada dalam naskah, akan diperankan pemain baru yang belum terkenal. Tim produksi
(kru) yang terlibat dalam produksi Film ini akan mengandalkan tenaga yang ada
disumatera barat ditambah dengan konsultan ahli. Sedangkan biaya produksi untuk
Film ini sama sekali belum ada.
Publish By : Tua Tua Cinema Bukittinggi
Email : tuatua_cinema@yahoo.co.id
Publish By : Tua Tua Cinema Bukittinggi
Email : tuatua_cinema@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar